Oleh: Bangun Lubis
Pagi itu, Ibu
Dewi Sumsari (62), yang tinggal Jalan Sapta Marga, selalu menyapu halaman Masjid
yang bertepatan dekat dengan rumah tinggalnya. Ia tidak merasa menyapu itu sebagai
suatu beban. Menyapu saja dan ya...selesai. Ia juga tak pernah
menceritakan bagaimana rasanya apakah bahagia atau menjadi beban menyapu
halaman langgar yang sepertinya sudah hampir 15 tahun ini selalu ia lakukan itu.
Ia
juga tak pernah berharap penghargaan. Apakah sekadar ungkapan kalimat yang
menyenangkan, atau memuji-mujinya yang sudah melakukan itu dalam kurun waktu
lama. Pokoknya ia lakukan saja dan setiap pagi terus berlangsung hingga kini.
Kemarin saya juga masih melihatnya menyapu dan tak pernah ingin pujian atau
penghargaan apapun namanya.
Ibu Dewi
ikhlas saja melakukan itu. Lagi pula halamannya dengan langgar tempat solat
warga sekitar itu, hampir menyatu dengan halaman rumah mereka. Makanya, tidak
penting baginya untuk mendapat pujian apalagi kata-kata sanjungan bahwa ia
telah melakukan pekerjaan yang mulia dengan menyapu halaman langgar tersebut. Tetapi
tahu kah kita, bahwa sesungguhnya ibu Dewi, yang sudah mulai memperlihatkan
raut wajahnya yang menua itu, telah mengerjakan pekerjaan yang amat mulia
dengan penuh keikhlasan. Sehingga, bila ada imbalan dari warga pada saat-saat
tertentu diberikan kepadanya, wajar saja. Itu namanya rezeki. Tentu sangat
halal.
Lalu apa
yang dilakukan oleh ibu Dewi, samakah dengan yang kita lakukan sehari-hari
dalam pekerjaan. Pegawai, dimana pun tempatnya, dan pekerjaan apapun namanya,
tentu dilakukan untuk membantu sebuah sistem agar tujuan sistem itu dapat
dicapai dengan baik. Kewajiban seorang pekerja atau pegawai, tentu melakukan
pekerjaan dan padaa perjanjiannya, akan memperoleh imbalan yang disebut honor
atau gaji.
Yang
ingin dinyatakan dalam kesempatan ini, adalah seberapa jauh keikhlasan kita dalam
melakukan pekerjaan itu. Karena keinhlasan sangat erat kaitannya dengan keridhoan
Allah. Salah satu akhlak tertinggi di dalam agama Islam adalah ikhlas.
Lawannya, pamrih. Kenapa Islam mengajarkan keikhlasan? Karena, Allah
menghendaki umat Islam menjalani agamanya ‘tanpa pamrih’. Semua aktivitas
hidupnya dilakukan lillahi ta’ala ~ ‘karena Allah semata’.
Ustads Umar
Said, Ketua Forum Umat Islam (FUI) yang ditanya As SAJIDIN baru-baru ini,
mengemukakan maksana keikhlasan itu. Dia mengatakan, bersyahadatnya, karena
Allah. Shalatnya, karena Allah. Puasanya karena Allah. Zakatnya karena Allah,
bekerjanya pun niat karena Allah, hajinya pun karena Allah. Demikian pula
ketika menolong orang, menuntut ilmu, bekerja, menjadi pejabat, menjadi ustadz
dan ustadzah, menjadi hakim, jaksa, polisi, profesional, dan apa pun
aktivitasnya, semua dijadikan sebagai proses belajar ikhlas dalam mengagungkan
Allah semata.
Lantas, bagaimanakah membedakan
ibadah yang ikhlas dengan ibadah yang penuh pamrih? Pada dasarnya: Orang yang
ikhlas, menjalankan agama karena Allah semata. Sedangkan orang yang pamrih,
melakukan ibadah karena ingin memperoleh sesuatu untuk keuntungan dirinya saja.
Orang yang
ikhlas meniatkan shalatnya karena Allah semata, persis seperti doa iftitah yang
dibacanya: ’’inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil
alamin ~ sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah
semata.’’ Sedangkan orang yang pamrih, meniatkan shalatnya untuk
mengejar pahala 1 kali, 27 kali, 1000 kali, dan 100.000 kali. Ada juga yang
melakukan shalat Dhuha karena ingin memperbanyak rezeki. Atau shalat tahajud
agar punya karomah. Dan lain sebagainya.
Orang yang
ikhlas, menjalankan puasanya karena taat kepada Allah semata. Karena dengan
puasa itu ia akan menjadi jiwa yang lebih suci, sehingga lebih mudah
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan yang pamrih, melakukan puasa
karena tujuan-tujuan yang selain mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, ada
orang berpuasa agar lulus ujian, agar mendapat jodoh, agar langsing, agar
sehat, agar sakti. Padahal, semua itu hanya ’dampak’ saja dari ibadah puasa.
Tidak usah dipikirkan dan apalagi dijadikan tujuan. Kalau puasanya ’karena
Allah’ semata, pasti semua dampak positip itu tetap akan datang dengan
sendirinya.
Orang ikhlas
menunaikan zakat dan shodaqohnya karena ingin menolong orang lain, meniru Sifat
Allah yang Maha Pemurah. Tetapi, orang yang pamrih mengeluarkan zakat dan
sedekah karena ingin dipuji orang, untuk memunculkan rasa bangga di dalam
hatinya karena bisa menolong orang, atau yang lebih parah lagi adalah berharap
balasan pahala sampai 700 kali dari nominal yang dikeluarkannya. Jadi, ketika
dia mengeluarkan uang Rp 1 juta, yang ada di benaknya adalah berharap mendapat balasan
Rp 700 juta. Sepertinya ini ibaratnya berdagang dengan Allah. Transaksi ekonomi
dengan Allah. Tidak ikhlas!
Orang ikhlas
mengorientasikan seluruh ibadahnya untuk mencintai Allah, dan merendahkan ego
serendah-rendahnya sebagai manifestasi syahadatnya: laa ilaaha illallah
~ tiada Tuhan selain Allah. Ikhlas
lah dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik (menduakan Allah
sebagai tujuan hidup). “Dan luruskanlah wajahmu di setiap shalat dan sembahlah
Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya..’(. QS. Al A’raaf (7): 29).
“Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan pekerjaan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim (dan
orang-orang yang mengikuti ajarannya) menjadi kesayangan Allah.”(QS. An
Nisaa’ (4): 125).(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar