KEBEBASAN BERPENDAPAT BERDASAR ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEBEBASAN MENGEMUKAKAN PENDAPAT DI
MUKA UMUM DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
ABSTRAKSI
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah
hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”, hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Upaya
membangun demokrasi yang berkeadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia
diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai, dan dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini adalah bagaimana
prosedur kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum dan pengaturan ketentuan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di
Muka Umum dalam pemenuhan jaminan hak asasi manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
yang bersifat deskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
metode yuridis normatif. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang
diperoleh kemudian di pilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi
kaidah-kaidah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang
dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum yang
diperoleh tersebut akan diolah secara deduktif kualitatif untuk sampai pada
kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan
dapat dijawab.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum belum
dapat dikatakan telah melindungi kebebasan menyatakan pendapat yang dimiliki
oleh seseorang dalam pemenuhan hak sosial dan politik. Sebagai hak asasi
manusia yang juga termasuk dalam hak sipol, kebebasan menyatakan pendapat
mutlak harus dilindungi dan tidak dapat dikurangi. Sebagaimana yang telah
diuraikan bahwa ketentuan dalam UU tersebut yang berkaitan dengan kebebasan
berpendapat, namun negara dalam hal ini telah melakukan intervensi atau
bersifat aktif. Sedangkan dalam pemenuhan hak sipol seharusnya peran negara
bersifat pasif, tak lain sebagai pengiring untuk mempermudah agar masyarakat
dapat melakukan pemenuhan hak sosial politik dengan baik.
Dengan diterapkannya ketentuan kebebasan berpendapat
yang di atur dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang Kebebasan
Mengemukakan pendapat di Muka Umum telah banyak menimbulkan polemik dalam
masyarakat, terutama dalam hal perijinan serta sanksi yang dikenakan. Beberapa
praktisi hukum beserta penulis menganggap UU ini telah mencederai
prinsip-prinsip demokrasi, mengintervensi hak sosial politik masyarakat dan
belum terpenuhinya jaminan hak asasi manusia. Suatu perundang-undangan haruslah
dapat menjamin ditegakkan dan dilindunginya hak asasi manusia dari segala
bentuk diskriminatif sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 I ayat (2) dan
ayat (5) UUD 1945.
________________________________________________________________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
John Locke, seorang teoretisi demokrasi mengatakan
bahwa manusia sebagai manusia, terpisah dari semua pemerintah atau masyarakat,
mempunyai hak tertentu yang tidak pernah boleh diserahkan atau dirampas.
Manusia tidak menyerahkan hak ini untuk bergabung membentuk suatu masyarakat
atau pemerintah, dan masyarakat atau pemerintah tidak boleh mencoba merampas
hak-hak ini. Jika pemerintah mencoba merampas hak-hak tersebut, maka manusia
dibenarkan melakukan revolusi untuk mengubah pemerintahan. Tidak semua
teoritisi demokrasi menganjurkan pendapat yang terakhir ini. Hak yang dimiliki
atau yang harus dimiliki seseorang lebih sering dinamakan hak alamiah,
sedangkan hak yang diperoleh dari pemerintah dinamakan hak sipil.
Hak alamiah, misalnya hak atas kebutuhan minimum akan
pangan, sandang dan perlindungan yang diperlukan untuk dapat hidup di suatu
masyarakat tertentu. Tolak ukur kehidupan berbeda antara masyarakat satu dengan
lainnya, maka tentu saja kebutuhan minimum juga berbeda. Hak yang diperoleh
dari pemerintah dinamakan hak sipil. Hak-hak sipil meliputi kebebasan atau
kemerdekaan spesifik sebagai berikut:
- Hak untuk memilih;
- Kebebasan mengeluarkan pendapat;
- Kebebasan pers;
- Kebebasan beragama;
- Kebebasan dari perlakuan semena-mena oleh sistem politik dan hukum;
- Kebebasan bergerak;
- Kebebasan berkumpul dan berserikat.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat yang minimum,
namun kebanyakan pemikir memandang kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai
kebebasan yang paling penting. Dalam demokrasi, kebebasan mengeluarkan
pendapat mempunyai satu tempat yang khusus hak untuk memilih tidak berarti
banyak jika tidak mendapat informasi yang cukup memadai mengenai gagasan dan
program oposisi dan jika mengemukakan pendapat sendiri tidak dimungkinkan.
Alasan yang sama terletak di belakang kemerdekaan pers dan kebebasan berkumpul.
Hak untuk mengemukakan pendapat dan untuk berkumpul guna membahas bersama-sama
masalah politik, merupakan hak-hak yang fundamental jika rakyat diharapkan
untuk memberikan suara secara kritis dan tepat. Hak untuk memberikan suara
mengadung pula suatu hak atas informasi dari kebebasan mengeluarkan pendapat
baik lisan maupun tertulis. Kebebasan mengeluarkan pendapat menuntut kebebasan
berserikat dan berkumpul, kebebasan berbicara tidak ada artinya tanpa massa
pendengar.
John Stuart Mill (1806 – 1873) menjelaskan pentingnya
kebebasan berbicara dan pers dengan cara yang agak berbeda di dalam karya
klasiknya, On Liberty (1859).
Oleh karena itu, kebebasan berbicara merupakan bidang
kebebasan manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang
kesadaran batin, yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang
paling sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan
pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau
spekulatif, keilmuan, moral, atau teologi. Kebebasan mengungkapkan atau
mempublikasikan pendapat tampaknya dapat digolongkan dalam prinsip yang
berbeda, karena hal itu termasuk dalam bagian perilaku individu yang memikirkan
orang lain, tetapi karena hampir sama pentingnya dengan kebebasan berpikir itu
sendiri dan cenderung berlandaskan pada alasan yang sama, maka secara praktis
ia tidak dapat dipisahkan darinya.
Bagi Mill, pikiran membutuhkan kebebasan untuk
mengeluakan pendapat secara lisan dan tertulis. Pencarian kebenaran menuntut
bahwa tantangan perdebatan dan perbedaan pendapat dimungkinkan. Mill
mengemukakan hal ini dari empat sudut pandang yang berbeda:
Pertama, apabila sesuatu pendapat dipaksa untuk diam,
kita dapat mengetahuinya dengan pasti bahwa pendapat itu mungkin benar.
Menyangkal hal ini berarti kita berasumsi bahwa kita tidak mungkin salah.
Kedua, meskipun pendapat yang dipasung itu boleh jadi salah, hal itu mungkin,
dan setidak-tidaknnya seringkali mengandung kebenaran dan karena pendapat umum
atau yang tersebar luas tentang suatu hal jarang atau tidak pernah benar
seluruhnya, maka hanya dengan mengawinkan berbagai pendapat yang berbeda kita
dapat memperoleh kebenaran. Ketiga, sekalipun pendapat yang diterima mungkin
tidak hanya benar, tetapi benar dalam artian menyeluruh, jika hal itu ditindas
dan kenyataannya memang demikian, serta ditentang keras dan gigih, pendapat itu
akan dianut dengan prasangka oleh hampir semua orang tanpa benar-benar memahami
dan merasakan landasan nalarnya. Keempat, ternyata tidak hanya itu, tetapi arti
doktrin itu sendiri akan terancam hilang atau ditafsirkan secara keliru dan
tidak memiliki arti persepsi fomal, tidak ampuh bagi kemanfaatan, sebaliknya
merusak landasan dan menghambat pertumbuhan setiap kenyakinan yang sesungguhnya
dan dirasakan penuh, yang timbul dari penalaran atau pengalaman pribadi.
Tanpa kebebasan berbicara kebenaran akan hilang, tidak
pernah ditemukan atau melemah. Dengan mengasumsikan bahwa kebenaran dapat
ditemukan, kebebasan berbicara adalah penting, sekalipun tidak ada kebenaran
yang harus ditemukan kebebasan berbicara tetap masih penting sebagai
satu-satunya alat yang tersedia untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk.
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan
atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau
mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang
mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara
konstitusional. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak
asasi manuasia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 menentukan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-Undang”.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan
dengan salah satu Pasal Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang
menjelaskan: “Setiap orang berhak atas kebebesan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak
memandang batas-batas”. Perwujudan kehendak agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan
baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau
pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses
keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan
disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat
yang memungkinkan pengembangan kepribadiannnya secara bebas dan penuh;
2. Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap
orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh
undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap
hak serta kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi
moralitas, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh
dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang
meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum
dan hak asasi manusia, pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkan
dalam bentuk sikap politik yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam
pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum,
baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan
hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
harus berlandaskan:
- Asas keseimbangan antar hak dan kewajiban;
- Asas musyawarah antara hak dan mufakat;
- Asas kepastian hukum dan keadilan;
- Asas proposionalitas;
- Asas manfaat.
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang
bertanggungjawab dalam berfikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di
muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum tersebut maka pelaksanaanya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk:
- Mewujudkan kebebasan yang bertanggungjawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
- Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujutan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;
- Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu
hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif, dan mengurangi atau
meninggalkan karakteristik represif. Dengan berpegang teguh pada karakteristik
tesebut, maka Undang-Undang tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum merupakan ketentuan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga
di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik
fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses
keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Pengertian kemerdekaan mengemukakan pendapat
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang yang mengatur kemerdekaan mengemukakan pendapat antara lain
diatur dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum.
Indonesia saat ini belum mencapai pada pelaksanaan
demokrasi yang subtansial yaitu sikap-sikap dan prilaku demokratis, sebagai
contoh kasus Prita yang baru-baru ini meramaikan stasiun Televisi yang
menggugah hati nurani hampir seluruh masyarakat Indonesia. Permasalahan
tersebut terjadi karena hal yang sifatnya sepele, yaitu pengalaman tidak
menyenangkan Prita sebagai seorang pasien dari sebuah rumah sakit, berkirim
email pada temannya, namun tanpa diduga berdampak hukum dengan dijerat
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
sehingga harus mendekam di penjara. Benarkah hanya karena memberi kritik
seseorang bisa ditahan.
Bila ditilik secara cermat, pengalaman seperti ini
banyak sekali dialami baik oleh pasien dan pihak rumah sakit. Cukup sering
dijumpai seorang pasien mengadukan ketidak puasan layanan seorang dokter dan
rumah sakit baik di media cetak, elektronik dan internet. Fenomena yang biasa
terjadi ini menjadi sesuatu yang sangat besar karena baru pertama kali sebuah
rumah sakit berani menuntut dengan dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan
pasien.
Bagi sebagian masyarakat hal itu merupakan sekedar
sebuah kritikan untuk pelayanan rumah sakit. Seorang ibu rumah tangga
harus dipisahkan dari ke dua anak kecilnya di rumah. Lantas dimana letak
keadilan di negeri ini bila hak asasi manusia dalam kebebasan mengemukakan
pendapat dibatasi, dipasung, bahkan terancam pidana. Pihak rumah sakit yang
berseteru dengan Prita tetap bersikeras bahwa tulisan sang ibu jelas-jelas
sebuah pencemaran nama baik.
Kasus Prita tersebut ternyata berdampak besar dan menjadi
sesuatu kontroversi yang tiada berhenti ujungnya. Berdasar pengalaman yang
seringkali terjadi tersebut menjadi melebar tak tentu arah, sebab pelaku dugaan
pencemaran nama baik adalah seorang ibu dengan dua orang anak, dukungan
mengalir secara deras tak terbendung tanpa melihat fokus masalah dan demi
kebebasan berpendapat.
Kasus Prita merupakan salah satu contoh kecil bahwa
hukum di Indonesia masih sangat lemah dalam memenuhi hak asasi manusia,
khususnya mengenai kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum.
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang serta hal–hal tersebut di
atas, maka masalah yang dikaji di rumuskan sebagai berikut:
- Apakah pengaturan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum sudah memenuhi jaminan hak asasi manusia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
- Untuk mengetahui dan menganalisis apakah pengaturan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum sudah memenuhi jaminan hak asasi manusia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan mempunyai manfaat
teoritis, praktis, dan administratif sebagi berikut:
Manfaat Teoritis.
Manfaat secara teoritis dimaksudkan bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu hukum, khususnya mengenai jaminan hak asasi manusia dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum.
Manfaat secara teoritis dimaksudkan bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu hukum, khususnya mengenai jaminan hak asasi manusia dalam kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum.
Manfaat Praktis.
- Bagi masyarakat pengguna, penelitian dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan dalam proses, kemampuan dan jaminan atas hak asasi manusia mengemukakan pendapat di muka umum.
- Bagi lembaga masyarakat, LSM, aliansi mahasiswa dan tentunya aktivis kampus, penelitian ini memaparkan negara menjamin kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum berdasar atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam literatur dan memberikan panduan.
- Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi untuk mengetahui sejauhmana jaminan hak asasi manusia dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum.
________________________________________________________________________________________________________
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
Metode adalah cara atau langkah yang berulang kali
sehingga menjadi pola untuk mengkaji pengetahuan tentang suatu gejala. Dalam
sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan
adanya suatu metodologi. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang
tata cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami
lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.
Adapun metode penelitian yang dipergunakan oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Metode Pendekatan
Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan
menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga
penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas
hukum.
B. Definisi konsep
Konsep dasar ini mencakup pengertian yang dipergunakan
untuk mendapatkan data yang akan dianalisis data sesuai dengan tujuan
penelitian.
1. Kebebasan
Kebebasan secara umum di masukan dalam konsep dari
filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan
untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Individualis dan konsepsi liberal
dari kebebasan berhubungan dengan kebebasan dari individual dari luar
keinginan; sebuah prespektif sosialis, di sisi lain mempertimbangkan kebebasan
sebagai distribusi setara dari kekuasaan, berpendapat kalau kebebasan tanpa
kesamaan jumlah ke dominasi dari yang paling berkuasa.
John Stuart Mill, dalam karyanya On Liberty
menyatakan merupakan pertama yang menyadari perbedaan antara kebebasan sebagai
kebebasan bertindak dan kebebasan sebagai absennya koersi. Dalam bukunya, Two
Concepts of Liberty isaiah Berlin secara resmi merangka perbedaan antara dua
prespektif ini sebagai perbedaan antara dua konsep kebebasan yang berlawanan kebebasan
positif dan kebebasan negatif. Penggunaan lain kemudian sebuah kondisi negatif
di mana individu dilindungi dari tirani dan arbrituari yang dilakukan oleh
otoritas, sementara yang sebelumnya memasukan hak untuk memakai hak sipil,
seperti pembuatan kantor. Mill menawarkan penelusuran dalam pernyataan dari
tirani lembek dan kebebasan mutual dengan prinsip gangguan. Keseluruhan,
penting untuk memahami konsep ini ketika mendiskusikan kebebasan karena
semuanya mewakili bagian kecil dari teka-teki besar yang dikenal dengan
kebebasan (filosofi). Dalam pengertian filosofis, moralitas harus berada di
atas tirani dalam semua bentuk pemerintahan yang sah. Jika tidak, orang akan
dibiarkan berada dalam sistem sosietal yang diakari oleh keterbelakangan,
ketidakteraturan, dan regresi.
2. Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat
Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang yang mengatur kemerdekaan
mengemukakan pendapat antara lain diatur dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
3. Di Muka Umum
Pengertian di muka umum adalah di hadapan orang banyak
atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap
orang. Mengemukakan pendapat di muka umum berarti menyampaikan pendapat di
hadapan orang banyak atau orang lain, termasuk tempat yang dapat didatangi dan
atau dilihat setiap orang.[12]
C. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,
sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya memiliki otoritas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini
terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Pasal 27 ayat (3), Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan
Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak Sipil
dan Politik 1966 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Internasional Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum pendukung
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum ini dapat
berupa buku-buku (literatur), teks, dokumen-dokumen, jurnal hukum, tulisan
tulisan para ahli di bidang hukum nasional maupun internasional yang di dapat
dari studi kepustakaan.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus bahasa maupun kamus hukum.
D. Proses Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi
dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan
melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Bahan hukum yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan
dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang
kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan dalam penelitian ini.[14]
E. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah untuk mengola
data untuk dijadikan menjadi sebuah laporan yang dapat dipergunakan sebagai
menyimpulkan permasalahan yang diajukan dalam penyusunan penelitian ini. Pada
tahapan ini semua data yang diperoleh baik yang berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier dikumpulkan yang kemudian dianalisis untuk
kemudian disusun secara sistematis, sehingga akan didapatkan sebuah ganbaran
secara utuh mengenai suatu permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini,
yaitu Kebebasan berpendapat berdasar atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum.
________________________________________________________________________________________________________
BAB IV
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum dalam Pemenuhan Jaminan Hak Asasi
Manusia
1. Hak Asasi Manusi dalam Positive Rights
dan Negative Right
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kebebasan
berpendapat, kebebasan beorganisasi dan jaminan serta adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana yang
telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia
adalah negara hukum. Setiap negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum,
maka harus memenuhi segala persyaratan sebagai sebuah negara hukum. Indonesia
sebagai sebuah negara hukum telah mendasarkan pada adanya konstitusional.
Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan
tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara
yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah
negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat
dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun
tulisan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 1 ayat (1) UU
Nomor 9 Tahun 1998 menyebutkan kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak
setiap warga negara untuk menyampaik an pikiran dengan lisan, tulisan dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum dan
demokrasi, dapat di ukur dari adanya penegakan, pemenuhan dan pemajuan terhadap
hukum dan HAM dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Saat ini semua negara
menyatakan diri sebagai negara hukum dan demokrasi. Hanya saja sistemnya yang
berbeda-beda. Masing-masing sistem hukum negara memiliki perbedaan, namun pada
dasarnya mempunyai cita-cita yang sama yaitu terselenggaranya sebuah negara
yang demokratis serta menjunjung tinggi hukum, HAM dan demokrasi.
Pada dasarnya sebuah negara hukum telah include
persoalan-persoalan berkaitan dengan HAM dan demokrasi. Karena berbagai macam
regulasi yang dibuat merupakan bagian dari realisasi terhadap HAM. Secara
prosedural juga telah memenuhi asas kontrak sosial suatu negara. Berbagai
regulasi yang ada merupakan bentukan dan hasil kesepakatan rakyat melalui
mandatarisnya. Dengan demikian telah mengakomodir prinsip demos dan cratein.
Indonesia yang telah menyatakan sebagai sebuah negara hukum, telah meratifikasi
berbagai perjanjian Internasional yang bertujuan untuk tercapainya sebuah
negara hukum. Seperti Konvenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
(ekosob) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No.11
Tahun 2005 serta hak-hak sipil dan politik (sipol) yang diratifikasi melalui UU
No.12 Tahun 2005. Ke dua perjanjian Internasional tersebut merupakan bagian
dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau deklarasi umum tentang
hak-hak asasi manusia. Secara keseluruhan baik hak ekosob maupun sipol telah
diatur dalam regulasi nasional seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia serta di atur juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
1.1. Positive Rights
HAM memiliki hak-hak positif (positive rights) dan
hak-hak negatif (negative rights). Hal ini mengingat model pemenuhannya yang
berbeda. Hak ekosob merupakan hak positif (positive rights). Negara melalui
aparaturnya perlu peran besar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Seperti hak
warga negara atas kesejahteraan, pendidikan, perumahan, kesehatan, pekerjaan,
jaminan sosial, terbebas dari kelaparan, lingkungan yang sehat dan lain
sebagainya. Jika masih banyak warga negara dilanda kelaparan, lapangan
pekerjaan yang sempit, banyak anak-anak tidak bersekolah atau putus sekolah,
lingkungan yang tidak sehat, kesehatan warga negara yang tidak terjamin, maka
negara telah melakukan pelanggaran hak-hak ekosob. Aparatur negara yang
merupakan action person untuk mewujudkan cita-cita negara telah gagal dalam
penyelenggaraan negara.
1.2. Negative Rights
Negative rights dapat di lihat pada hak-hak sipil dan
politik (sipol). Dalam negative rights, negara dalam pemenuhannya haruslah
bertindak pasif. Hal ini berbeda dengan hak-hak ekosob di mana negara harus
bertindak aktif. Misalnya hak-hak warga negara untuk berorganisasi dan mendirikan
serikat, hak ikut serta dalam urusan penyelenggaraan publik, hak untuk
berpendapat baik lisan maupun tulisan, hak tidak ditangkap dan ditahan secara
sewenang-wenang, hak tidak diperlakukan atas penghukuman yang kejam dan tidak
manusiawi serta merendahkan martabat, hak berkumpul yang bersifat damai, hak
untuk tidak dihukum karena tidak ada dasar hukum, hak tidak dipenjara karena
seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban kontraktualnya, hak tidak diperlakukan
asas retroaktif dalam perundang-undangan pidana dan lain sebagainya. Secara
terperinci telah di muat dalam Konvenan Internasional Hak-hak sipil dan
politik.
Terhadap hak sipol, negara tidak dibenarkan terlalu
ikut campur karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi
terlanggarnya hak-hak tersebut. Misalnya mematai-matai setiap warga negara yang
melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk
berkumpul, melakukan penyiksaan, menangkap dan menahan orang yang bersalah
dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana,
merendahkan martabat tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk
mengkritisi kebijakan pemerintahan, mengahalang-halangi warga negara untuk
menyampaikan pendapat di muka umum dan lain sebagainya. Agar terjaminnya
hak-hak sipol, aparatur negara tidak perlu ikut campur tangan yang berlebihan
atau dengan kata lain harus bertindak pasif. Aparatur negara hanya perlu
memastikan saja agar hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.
Merebaknya kembali kasus-kasus yang berintikan kebebasan
berpendapat akhir-akhir ini menjadi perhatian dan keprihatinan berbagai
kalangan khususnya para pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia. Sebut saja
kasus Prita Mulyasari, maraknya kriminalisasi aktivis pembela HAM, dan
kriminalisasi Pers.
Kesemuanya itu mencoba mengekspresikan hak fundamental
dan konstitusionalnya, tetapi oleh aparat penyidik dan penuntut umum dianggap
sebagai sebuah kejahatan. Deretan kasus ini menjadi sebuah paradoks sekaligus
ujian bagi bangsa ini yang mendaku sebagai negara demokrasi. Fenomena ini pula
semakin menegaskan bahwa demokrasi tidak selamanya berjalan linear jika
berhadapan dengan hukum khususnya politik hukum.
2. Kebebasan Berpendapat dalam Hak
Fudamental dan Konstiutsional
Kebebasan berpendapat atau kemerdekaan berpendapat
merupakan salah satu hak asasi manusia yakni hak untuk berpendapat atau
berekspresi. Jika dilitilik dari generasi hak asasi menusia merupakan kategori
hak fundamental. Sebuah hak yang terdapat pada generasi pertama dalam sejarah
dan perkembangan hak asasi manusia, yakni hak tergolong dalam hak sipil dan
politik (politic and civil right). Dikatakan fundamental karena jauh sebelum
rakyat melahirkan sebuah organisasi negara, rakyat sudah diberikan hak dan
kebebasan yang paling asasi ini. Berdasar teori klasik tentang asal mula negara
dari seorang ahli filsafat dan penganut teori perjanjian masyarakat (social
contrac) yakni John Locke dalam bukunya Two Treaties Of Civil Government yang
menjelaskan tentang proses lahir negara dalam bentuk penjanjian masyarakat.
Locke, berpendapat ketika perjanjian antara warga
dengan penguasa, individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah
(fundamental) karena hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak dapat
dipisahkan atau dilepaskan dari individu tersebut. Untuk itu penguasa yang
diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus
menghormati hak-hak asasi tersebut. Dimata Locke, disinilah fungsi dari
perjanjian masyarakat yakni untuk membatasi kekuasan yang mutlak dan untuk
menjamin hak-hak kodrat itu. Salah satu diantara hak kodrat atau fundamental
dimaksud tersebut adalah hak untuk berpendapat. Filosofi di atas kemudian
mendasari negara-negara demokratis yang tidak boleh membatasi apalagi melarang
setiap orang untuk berpendapat. Negara lewat pemerintah sebagai pemegang mandat
rakyat dan aparatur negara seharusnya memberikan penghormatan dan penghargaan
bagi mereksa yang melaksanakan hak asasinya. Hal ini pula yang mempengaruhi
konsep negara hukum materiil atau modern yang lebih pupoler dengan istilah
negara kesejahteraan (walfare state) sebagai thesa negara polis dan antithesa
negara hukum formil.
Menurut konsep negara kesejahteraan, sifat hubungan
rakyat adalah positif-aktif di mana negara aktif menyelanggarakan kesejahteraan
atau kemakmuran rakyat sementara rakyat aktif berpartisipasi dalam
pemerintahan. Seperti umumnya hak lainnya, hak berpendapat dalam pengertian hak
asasi manusia selalu mengandung dua aspek yakni keberhakan (entitlement) dan
kebebasan (freedom). Apa yang di sebut hak sama artinya dengan apa yang
dinamakan kebebasan. Misalnya hak atas pendidikan, hak dasar ini tidak bisa
maksimal perwujudannya jika tidak ada jaminan kebebasan berpendapat. Termasuk
dalam hal ini institusi pers hanya bisa maksimal dalam menjalankan fungsi kontrolnya
jika ada kebebasan berpendapat dan berkespresi. Sebagai rumpun hak sipil dan
politik, hak berpendapat bersifat negatif, yakni pelaksanaannya semakin baik
jika kurang intervensi negara. Hal ini didasarkan pada aspek kebebasan dalam
hak yakni bebas untuk (freedom in it self) yang tidak bisa di batasi dan
bersifat imperati.
Di sisi lain pada prinsipnya hak bependapat termasuk
hak yang bisa ditangguhkan sementara pelaksanannya dalam keadaan tertentu
seperti dalam keadaan perang. Pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak ini
diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan. Komentar Umum Pasal 10 ayat (4) Internasional Convenant Civil and
Politic Rights (ICCPR) menegaskan bahwa penerapan pembatasan kebebasan
kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri. Dalam
konteks negara demokrasi seperti Indonesia, hak berpendapat ini dijaminkan
dalam klausul konstitusi. Jaminan tersebut diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Sebagai sebuah nilai sosial,
acuan normatif konstitusional dan ideal ini masih harus diwujudkan secara
empiris. Di mana prosesnya diharapkan bersifat konsisten, sehingga nilai sosial
dari kebebasan masyarakat dapat terwujud. Wujud empiris tersebut sangat
ditentukan beberapa hal antara lain kondisi dan prasyarat yang diberikan oleh
kekuasaan (pemerintah) kepada masyarakat dalam bentu korientasi dan
subyetifitas penguasa. Perwujudan hak konstiusional bisa terjamin jika
orientasi penyelanggaraan Negara atau birokrasi selaras dengan kecenderungan
individu warga negara. Sebaliknya perwujudan yang tidak selaras tetapi hanya
bertolak dari kecenderungan individual dari penyelenggara negara atau birokrasi
yang masuk pada ranah personal (personal domain) pejabat negara, yang bisa
terwujud atas itikad dari pejabat negara.
3. Ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 belum menjamin Kemerdekaan Berpendapat
Dalam uraian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, yang di jelaskan oleh penulis di
atas menunjukkan negara belum menjamin Kemerdekaan Berpendapat secara
sepenuhnya, hal ini berdasarkan tindakan negara berperan secara aktif atau
terlalu ikut campur dalam pemenuhan hak sipol kebebasan berpendapat di muka
Umum,dan bertentangan dengan konvenan Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) atau deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia yang menetapkan bahwa
peran negara dalam pemenuhan hak sipol termasuk didalamnya kebebasan
mengemukakan pendapat di muka umum haruslah bersifat pasif (negative righs).
Terhadap hak sipol, negara tidak dibenarkan terlalu
ikut campur karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi
terlanggarnya hak-hak tersebut. Misalnya mematai-matai setiap warga negara yang
melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk
berkumpul, melakukan penyiksaan, menangkap dan menahan orang yang bersalah
dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana,
merendahkan martabat tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk
mengkritisi kebijakan pemerintahan, mengahalang-halangi warga negara untuk
menyampaikan pendapat di muka umum dan lain sebagainya. Agar terjaminnya
hak-hak sipol, aparatur negara tidak perlu ikut campur tangan yang berlebihan
atau dengan kata lain harus bertindak pasif. Aparatur negara hanya perlu
memastikan saja agar hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.
- Penulis medapat beberapa catatan pengaturan kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum, yaitu:
- Prosedur mengemukakan pendapat yang di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998, telah mencederai prinsip-prinsip demokrasi dengan melakukan pengekangan dan mempersulit masyarakat dalam mengemukakan pendapat di muka umum.
- Seperti ketentuan yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) “Pelaporan kegiatan terhadap polisi setempat harus di ketahui bahwa polisi wilayah mana yang harus melakukan pengawasan”. Dalam hal ini polisi setempat yang dimaksud adalah, satuan Polri terdepan di mana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan pada:
- 1 (satu) kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;
- 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan kabupaten atau kotamadya, pemberitahuan ditujukan kepada Polres setempat;
- 2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan ditujukan kepada Polda setempat;
- 2 (dua) propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam mengemukakan pendapat cukuplah melakukan
pemberitahuan kepada pihak polisi terdekat, sebab sejatinya mengemukakan
pendapat adalah hak seluruh warga negara tanpa memandang status dan strata sosial,
jadi seharusnya Negara memberikan kemudahan terhadap setiap warga dalam
pemenuhan hak nya dan bukan untuk mempersulit.
- Ketentuan dalam Pasal 10 menyatakan:
“Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan
dimulai telah diterima oleh Polri setempat”
Dalam pasal tersebut telah memberikan pengekangan
terhandap kebebasan mengemukakan pendapat melalui prasyarat batas waktu
perijinan, sedangkan setiap orang dalam mengemukakan hak berpendapat tidak
dapat di prediksi kapan akan menggunakan hak nya, hal tersebut kerap kali
dilakukan secara insidental atau berjalan dengan sendirinya sesuai panggilan
dari hati nurani dan jiwa saat merasa kecewa terhadap sesuatu, cukuplah dengan
mengajukan pemberitahuan secara tertulis maupun lisan kepada pihak kepolisian
terdekat.
- Ketentuan Pasal 11 menyatakan: “Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat” :
- Maksud dan tujuan;
- Tempat (tempat peserta berkumpul dan berangkat ke lokasi), lokas (tempat penyampaian pendapat di muka umum), dan rute (jalan yang dilalui oleh peserta penyampaian pendapat di muka umum dari tempat berkumpul dan berangkat sampai di lokasi yang dituju dan atau sebaliknya);
- Waktu dan lama;
- Bentuk;
- Penanggungjawab (orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang bertanggungjawab agar pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai;
- Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
- Alat peraga yang dipergunakan;
- Jumlah peserta.
Mengemukakan pendapat kerap kali dilakukan saat
masyarakat merasa kecewa terhadap kinerja pemerintah, hal ini tak lain
merupakan wujud kepedulian masyarakat sebagai warga negara dan hak yang kapan
saja dapat dilakukan, salah satu bentuk penyampaiannya adalah antara lain
melalui demonstrasi, namun dengan ketentuan perijinan berdemonstrasi yang
cenderung mempersulit dan mengekang seperti ketentuan di atas, maka dalam hal
ini negara belum menjamin hak dan kebebasan sepenuhnya masyarakat atas jaminan
kebebasan berpendapat sesuai hak asasi manusia.
- Ketentuan Pasal 12 menyatakan:
“Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta
unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima)
orang penanggungjawab”
Hal tersebut di atas di nilai terlalu berlebihan,
sebab dalam fakta di lapangan demonstran dalam melakukan mepenuhan hak
nya relatif berjumlah kurang dari 100 (seratus) orang, dan aktifitas yang
dilakukan adalah berorasi bergantian sambil membentangkan spanduk-spanduk yang
berisi tuntutan sebagai wujud kekecewaan terhadap sesuatu yang tidak terpenuhi,
sehingga terlalu berlebihan jika dalam demonstrasi diharuskan wajib menyiapkan
5 (lima) orang komandolapangan (korlap) untuk kordinasi demi ketertiban dan
keamanan.
4. Kebebasan Berpendapat dan Defamasi
Demonstrasi secara konstitusional merupakan hak yang
harus dilindungi oleh pemerintah. Di sisi lain, orang yang melakukan
demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal
28 UUD 1945 dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstransi memiliki
legalitas dalam aksinya.
Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak
rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan undang-undang.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk
menggapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah
satu cara yang efektif untuk mencapai kepentingannya. Perubahan yang ingin
dicapai oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak
bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Sejarah memcatat kejatuhan rezim
otoritarian Soeharto yang telah berkuasa dan tidak terusik selama 32 tahun,
mampu dijatuhkan oleh kekuatan demonstrasi massa. Ada banyak kejadian lainnya
yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal ini
demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Hanya saja yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik
praktis atau jangka panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi
kemaslahatan orang banyak.
Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di
muka umum menjadi terkendala ketika pelaksananya dapat dijerat pidana pasal
160-161 KUHP tentang penghasutan, pasal 310 ayat 1 – 311 ayat 2 KUHP tentang
pencemaran nama baik dan atau pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik pada
internet. Pasal-pasal inilah yang banyak menjerat para aktivis ketika melakukan
demonstrasi. Sebenarnya pasal ini bisa dijalankan ketika hasutan itu dilakukan
terhadap khalayak ramai untuk melakukan perbuatan pidana. Namun dalam
prakteknya, banyak para aktivis yang harus tersandung dengan pasal ini. Meskipun
yang dilakukan oleh aktivis dalam rangka bagian dari partisipasi publik dan
advokasi terhadap masyarakat, namun tetap saja dapat dijerat dengan pasal
penghasutan tersebut.
Dalam demonstrasi menggunakan alat peraga berupa
poster atau selebaran sambil berorasi, sebab pada intinya tujuan demonstrasi
adalah mengabarkan kepada publik (masyarakat luas) tentang hal apa yang terjadi
dan hal apa yang diinginkan. Dalam demonstrasi terdapat penanggung jawab dan
komando massa atau sering di sebut koordinator lapangan (korlap). Secara
sederhana, ketika mempunyai masalah seseorang akan menyampaikan kepada orang
lain agar bisa membantu dan memberikan solidaritas kepadanya. Dengan demikian
domonstrasi sudah tentu ada penggeraknya.
Namun permasalahannya apakah hal itu merupakan tindak
pidana penghasutan? Fakta-fakta yang dituangkan dalam selebaran dan dapat
dipertanggung jawabkan apakah suatu tindak pidana penghasutan? Tulisan akademik
dalam bentuk kritikan terhadap penguasa apakah juga dapat dikategorikan ke
dalam tindak pidana penghasutan? Jika benar itu semua penghasutan, maka perlu
dipertegas dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tentang mekanisme demonstrasi secara detail, sebab sangat jarang di temukan
dalam demonstrasi hanya memuji pemerintah atau dalam demonstrasi para
demonstran hanya diam saja tanpa membawa dan memakai alat peraga.
Mencermati problem di atas, pada dasarnya akan
terjawab ketika aparatur negara benar-benar menjalankan prinsip negara hukum
dan demokrasi, serta mentaati hak sipil dan politik. Tidak selamanya hak
berpendapat sebagai hak fundamental dan konstitusional ini tercipta sesuai
kondisi dan prasyarat kekuasaan negara tidak terkecuali kasus Upi Asamaradana
yang tergabung dalam KJTKPM. Beberapa warga negara yang mencoba mengekpresikan
hak berpendapat tetapi kemudian dikriminalisasi dengan menggunakan delik-delik
pencemaran nama baik atau defamasi (defamation).
Defamasi adalah pelanggaran pidana pencemaran nama
(defamation), yang dilakukan secara lisan maupun tulisan. Dalam dunia pers,
defamasi umumnya terkait tulisan atau berita pers yang terpublikasi oleh
organisasi perusahaan media. Beberapa tahun terakhir, komunitas pers khususnya
kaum pencari berita dan masyarakat kerap menghadapi ancaman gugatan hukum
secara pidana maupun perdata denagn menggunakan defamasi. Ancaman pemidanaan
ini makin marak sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998.
Sejarah delik defamasi dalam pasal-pasal Wetboek van
Strafrecht (WvS) Belanda pada awalnya digunakan sebagai instrument untuk mengukuhkan
kekuasaan otoritarian dengan hukuman yang sangat kejam saat itu. Demikian juga
halnya di Indonesia yang nota bene bekas jajahan Belanda yang serta merta
mengadopsi WvS ke dalam KUHP oleh rezim orde lama dan orde baru dijadikan media
yang ampuh untuk melakukan pembungkaman terhadap warga yang melakukan kritik
dan protes. Delik defamasi oleh aparat penguasa dan pihak-pihak tertentu masih
dijadikan senjata ampuh untuk mereduksi kebebasan berpendapat. Sebuah gambaran
dari jenis hukum yang oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick disebut sebagai
hukum represif.
Gugatan pencemaran nama (defamasi) mengandung pidana
penjara atau denda secara perdata. Gugatan diajukan oleh mereka (individu
maupun badan publik) yang merasa dirugikan pemberitaan pers. Istilah pencemaran
nama (defamation) sebenarnya tidak tertulis dalam Kitab Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun KUH Perdata. Yang ada, 12 pasal penghinaan yang termuat dalam Bab
XVI KUHP mulai pasal 310 sampai 321. Delik “pencemaran nama” ini meliputi
kejahatan merusak kehormatan dan nama baik seseorang, menista, menghina,
memfitnah, secara lisan maupun tulisan dengan ancaman penjara 4 bulan sampai 4
tahun. Adapun secara perdata, jumlah denda yang diajukan tidak diatur secara
rinci. Ini menyebabkan nilai gugatan perdata bisa diajukan seenaknya tergantung
selera penggugat.
Aliansi Jurnalis Indonesia AJI mencatat beberapa upaya
kriminalisasi terhadap Pers. Pada periode1999 sampai 2005 AJI mencatat 31 kasus
gugatan hukum, pidana maupun perdata, Beberapa diantaranya, gugatan pidana
maupun perdata Akbar Tanjung, Rini Soewandi, Hendropriyono terhadap Harian
Rakyat Merdeka. Atau gugatan Laksamana Sukardi terhadap sejumlah penerbitan
pers terkait pemberitaan kinerjanya sebagai Menteri Negara BUMN pada era
Megawati Soekarno Putri.
Tahun 2006, kasus gugatan hukum terhadap pers umumnya
merupakan lanjutan perkara tahun–tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 AJI mencatat
53 kasus kekerasan terhadap pers. Setahun kemudian, 2007, tercatat 75 kasus
kekerasan terhadap wartawan, 4 diantaranya berupa gugatan hukum. Dua kasus yang
menonjol antara lain: vonis hukuman penjara oleh Mahkamah Agung terhadap
wartawan Radar Yogya, Risang Bima Wijaya dan wartawan Tabloid Oposisi di Medan,
Dahri Uhum. Keduanya dianggap terbukti mencemarkan nama baik sejumlah pihak
melalui pemberitaan pers, dan dipaksa menjalani hukuman penjara 6 bulan di LP
Sleman Yogyakarta dan LP Tanjung Gusta Medan.
Pada 2008, tercatat 59 kasus kekerasan, 5 diantaranya
kasus gugatan hukum. Misalnya, kasus Asian Agri VS Majalah Tempo, Riau Andalan
Pulp and Paper VS Koran Tempo, Munarman melawan Koran Tempo, Gubernur Ismeth
Abdullah VS Tabloid Investigasi, gugatan pidana dan perdata Kapolda Sulselbar
Irjenpol Sisno Adiwinoto terhadap mantan kontributor Metro TV, Upi Asmaradhana
di Makassar. Pada 2009 tercatat 7 kasus gugatan hukum dari 37 kasus kekerasan
terhadap wartawan. Kasus–kasus itu diantaranya, gugatan pengusaha Aburizal
Bakrie terhadap kaver majalah Tempo, gugatan Raymond Teddy (pengusaha judi)
terhadap tujuh media (RCTI, KCM, Kompas, Warta Kota, Detikcom, Sindo dan Suara
Pembaruan), kasus pelaporan anggota DPR Partai Demokrat Eddy Baskoro terhadap
Jakarta Globe, Harian Bangsa, dan Seputar Indonesia (Sindo), serta gugatan
pihak Polri terhadap Harian Kompas dan Sindo terkait pemberitaan Cicak versus
Buaya.
Dari sekian banyak kasus gugatan hukum dan ancaman
pemidanaan, ada tiga catatan menarik yang bisa dijadikan pelajaran bersama.
- Ancaman defamasi umumnya dilakukan oleh “kaum berkuasa”, apakah pejabat pemerintah, pejabat kemanan negara, atau pengusaha terkemuka. Ini tampak dari 31 kasus profil pelaku gugatanhukum tahun 1999 sampai 2005 versi Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pada periode itu, tercatat 11 kasus disumbang oleh pejabat pemerintah sipil serta militer, disusul 9 gugatan oleh kalangan pengusaha, 5 gugatan oleh institusi bisnis atau korporat, 2 gugatan oleh politisi, sedangkan gugatan hukum oleh warga biasa tercatat hanya 4 kasus. Dari sini dipahami delik pencemaran nama (defamasi) umumnya berkaitan dengan urusan mempertahankan reputasi, nama baik, atau kehormatan kaum berkuasa dari kritikan publik.
- Tuntutan
pidana pencemaran nama (defamasi) terhadap pers, acapkali
diwarnai semangat pihak penggugat untuk memenjarakan jurnalis. Padahal
pemberitaan pers yang memenuhi kaidah kode etik jurnalistik tapi
dianggap mencemarkan nama baik seseorang, tidak layak dihukum penjara.
Melainkan hanya dikenai hukuman perdata dengan denda sesuai Undang Undang
Pers.
Contoh :
Gugatan mantan Presiden RI Megawati Soekarno Putri terhadap Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Karim Paputungan pada 2003 bertendensi ingin memenjarakan jurnalis. Terbukti, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Karim Paputungan 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Tendensi serupa tampak pada gugatan pidana pengusaha Tommy Winata terhadap jurnalis majalah Tempo pada 2003. Hakim Pengadilan Jakarta Pusat memvonis pemred Majalah Tempo dengan hukuman 1 tahun penjara. - Tuntutan
hukuman denda (perdata) yang gila–gilaan dan dapat membangkrutkan usaha
pers atau tersangka pencemaran nama baik. Padahal hukuman denda bagi
perusahaan pers yang divonis bersalah dalam soal pemberitaan sesuai pasal
18 (ayat 2) Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 setinggi–tingginya
hanya 500 juta rupiah.
Contoh :
Gugatan keluarga Cendana terhadap majalah TIME dalam kasus pemberitaan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto, mencapai nilai gugatan 1 Trilyun. Kemudian pengusaha Tommy Winata terhadap Majalah Tempo dalam laporan “Ada Tommy di Tenabang”, mengajukan gugatan senilai 200 Milyar rupiah atau gugatan perdata.
Untuk itu dalam kaitannya delik defamasi dengan
kebebasan berpendapat seharusnya diletakkan dalam kerangka pertanggungjawaban
pidana dan beberapa alasan pembenar atau pemaaf. Sebuah tindakan yang didasari
atas nilai sosial dan diatur dalam ketentuan perundang-undangan perbuatan yang
patut dan tidak tercelah bukan sebaliknya yakni perbuatan melawan hukum.
Demikian juga halnya dengan perbuatan tersebut tidak bisa di hukum jika apa
yang dilakukan untuk membela kepentingan umum atau bermanfaat besar bagi
masyarakat (social adequat) yang sesuai dengan kebutuhan zaman, terpaksa untuk
membela diri serta untuk mengungkapkan kebenaran.
Selain itu pertimbangan hukum sebuah delik defamasi
yang terkait dengan kebebasan berpendapat tetap memperhatikan ukuran penghinaan
dari sudut subyektif yang di obyektifikasi dan tidak hanya dari satu sudut
pandang. Dengan ukuran perasaan subyektif yang di obyektifikasi tersebut dapat
menjamin ditegakkannya kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam
delik-delik penghinaan tanpa merusak asas-asas hukum lainnya. Sebaliknya jika
hanya menggunakan ukuran subyektif saja, delik-delik penghinaan akan menjadi
penghambat hubungan antar sesama dalam pergaulan masyarakat. Setiap orang
memiliki perasaan dan personalitas yang berbeda-beda, maka perasaan yang
subyektif tersebut perlu diobyektifikasi, yakni apakah perbuatan tersebut
menurut ukuran umum pada waktu dan tempat atau lingkungan di mana perbuatan
dilakukan termasuk perbuatan penghinaan atau tidak.
Hukum pidana belum jelas mengatur tentang kapan
seseorang dapat dikatakan terserang kehormatan atau nama baiknya. Untuk itu
dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional dalam upaya menegakkan hak
dasar dan melindungi hak atas reputasi, negara diwajibkan untuk menciptakan dua
instrumen hukum yaitu hukum pidana dan juga hukum perdata. Bahkan di beberapa
negara, pidana penjara atas tindak pidana pencemaran nama baik sudah di hapus.
Selanjutnya penyelesaiannya lebih pada mekanisme perdata, dimana orang yang
mengklaim nama baiknya tercemar yang harus membuktikan kebenarannya. Penggunaan
instrumen hukum pidana dikhawatirkan dapat membatasi esensi hak atau kebebasan
berpendapat itu sendiri. Dimana salah satu esensi dari kebebasan berpendapat
itu adalah penghargaan dan egaliterianisme.
Kebebasan berekspresi di internet kembali ramai
diperbincangkan. Berita dikabulkannya kasasi yang diajukan oleh Jaksa dalam
kasus Prita Mulyasari oleh Mahkamah Agung, menghentakkan banyak pihak, terutama
blogger dan aktivis kebebasan berekspresi. Terbukanya kembali kasus ini seolah
membangunkan dari euforia kemenangan gerakan “Koin keadilan untuk Ibu Prita”
dan “Gerakan satu juta facebooker bebaskan Bibit Hamzah”. Sentakan kasus ini
seakan kembali menyadarkan semua pihak, bahwa kebebasan menyatakan pendapat
masih terbelenggu dan masih harus terus diperjuangkan. Terlalu dini untuk
mengatakannya final dan terlalu prematur pula bila disebut Indonesia sudah
ramah dalan hal kebebasan berpendapat yang dijamin hak asasi manusia.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yang kemudian lebih familiar dikenal sebagai UU ITE,
menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi di sini. Adanya pasal karet tentang
kemungkinan pencemaran nama baik, memungkinkan pihak-pihak tertentu
memanfaatkannya sebagai pasal yang multitafsir.
Termasuk dalam kasus Prita Mulyasari versus RS Omni
Internasional. Pelayanan rumah sakit yang seharusnya sesuai standar dan etika
profesi yang ada ternyata menyisakan celah bagi pasiennya. Dan ini yang
dikeluhkan oleh seorang Prita. Bermula dari sekedar curhat ke seorang teman via
email lalu menyebar ke semua kolong jagat virtual, mengalir lewat
saluran-saluran yang ada. Di pihak lain, terutama mereka yang menjadi sasaran tembak
dari curhat tersebut, mudah sekali disimpulkan sebagai pencemaran nama baik.
Sekalipun, dari sisi pribadi seorang Prita, bisa jadi kerugian yang diterimanya
sekarang lebih dari sekedar pencemaran nama baik. Itulah jebakan dari UU ITE di
atas publik mengetahui ibu Prita dan pihak RS Omni Internasional telah sepakat
berdamai dan mengakhiri permusuhan di tingkat Pengadilan Negeri Tangerang,
Prita dinyatakan bebas murni namun terancam kembali di bui sebab putusan kasasi
di terima oleh Mahkamah Agung.
Terdapat satu fakta yang harus kita perhatikan pada
kasus Bibit-Chandra. Akibat tekanan masyarakat yang begitu kuat, Presiden
menggunakan hak deponeringnya untuk menghentikan kasus hukum kepada kedua pucuk
pimpinan KPK tersebut. Dengan alasan, bila kasus ini diteruskan maka akan
mengganggu stablitas negara dan kepentingan umum. Tekanan kuat masyarakat yang
massif, telah mempengaruhi posisi presiden dan kestabilan penyelenggaraan
negara. Walaupun ada segelintir praktisi hukum yang mencoba mempertanyakan
keputusan presiden ini, namun keduanya sekarang sudah dinyatakan bebas. Begitu
juga saat kasus Prita menemukan momennya, gerakan koin keadilan mampu
mengumpulkan koin berton-ton beratnya, senilai lebih dari tujuh ratus juta
rupiah serta turut serta mengundang beberapa tokoh nasional turut prihatin dan
bersimpatik dan mendesak segera dilakukan islah antara Prita dengan pihak RS
Omni Internasional. Hal ini masalah popularitas gerakan masif menemukan
bentuknya dalam wadah jejaring sosial. Hanya di sinilah banyak massa berkumpul.
Satu suara individu tak akan mampu berbuat banyak. Tak lebih seperti surat
pembaca di koran-koran yang halus suaranya, nyaris tak terdengar dan menjadi
hampa saat mendapat jawaban normatif dari pihak yang dituju.
5. Kebebasan Berpendapat dalam Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia
semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Setiap orang, baik terlahir dengan
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang
berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari
hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat
dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh
seseorang atau betapapun kejamnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti
menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut.
Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya
sebagai makhluk insani. Karena keuniversalan tersebut, maka menurut postulat
hukum alam, hak-hak asasi manusia memiliki sifat hukum, maupun moral yang
kadang-kadang tidak dapat dibedakan hak-hak asasi yang “ada” maupun yang
“semestinya” dalam urusan-urusan manusia. Selain itu, hak-hak asasi tersebut
mengimplikasikan tuntutan terhadap pribadi-pribadi atau lembaga yang
menghalangi realisasi dan tolok ukur untuk menilai legitimasi dari hukum dan
tradisi. Artinya, pada dasarnya, hak-hak asasi manusia membatasi kekuasaan
negara. “Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering ditunjuk untuk
mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”.
Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri
dari belenggu kekuasaan absolute negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik.
Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia
atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan
individu). Termasuk dalam generasi pertamaini adalah hak hidup, keutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan
terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan
untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum
yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut
sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk,
melainkan menunjuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan
individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu
sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini
dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik
negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu.
Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama
ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak
tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena
akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah
yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yaitu hak atas ekonomi, dan
budaya yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara.
Hak akan kebebasan berpendapat sebagai hak yang
termasuk generasi pertama, berarti juga membawa segala konsekuensi yang ada di
dalamnya, termasuk larangan untuk mengurangi atau membatasi hak tersebut. Hak
atas kebebasan pribadi dan hak kebebasan menyatakan pendapat merupakan sebagian
hak yang paling penting disamping hak-hak yang lain. Hak akan kebebasan
berpendapat ini sangat terkait dengan hak-hak kebebasan pribadi yang lain yang
dimiliki oleh seseorang dan saling berhubungan serta mempengaruhi. Hak ini
(kebebasan berpendapat) sangat terkait erat dengan hak seseorang untuk
berserikat, dan berkumpul serta dapat pula terkait dengan hak untuk memeluk
agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya, hingga menyangkut terhadap
kebebasan pers sendiri sebagai pilar demokrasi keempat suatu negara. Jadi
esensi dari hak pribadi atau hak menyatakan pendapat ini sangatlah luas. Bahkan
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi ini seringkali terjadi berbarengan
dengan pelanggaran lainnya, seperti pelanggaran terhadap hak atas kebebasan
untuk berserikat dan berkumpul sampai kepada kebebasan pers.
Banyak para kalangan dan pakar hukum yang menyatakan
bahwa kejahatan di bidang HAM yang paling berat adalah kejahatan yang
menyangkut kejahatan fisik seperti salah satunya ialah kejahatan genosida
(pemusnahan massal) dan kejahatan perang. Namun menurut hemat penulis, disini
tindakan mengurangi atau membatasi suatu hak kebebasan menyatakan pendapat yang
dimiliki oleh seseorang juga merupakan suatu tindakan pelanggaran HAM yang
berat. Mengapa demikian, karena menurut penulis bahwa kebebasan menyampaikan
pendapat merupakan suatu hak yang sangat esensial dan akan memiliki ekses atau
dampak yang sangat luas, bahkan dapat berdampak terjadinya suatu kejahatan HAM
yang berupa kejahatan fisik. Oleh karena itu patut kiranya bahwa kebebasan
berpendapat ini dapat diistilahkan sebagai pedang bermata dua, disatu sisi
dapat untuk menunjukkan eksistensi seseorang dengan pendapatnya, namun sisi
lain justru dapat membahayakan eksistensi orang lain.
Kebebasan menyampaikan pendapat ini juga sangat
identik dengan prinsip demokrasi suatu negara. Bahkan dapat dikatakan bahwa
suatu demokrasi timbul karena adanya perbedaan pendapat, atau suatu negara
muncul kerena adanya pendapat bersama untuk membentuknya (sesuai dengan teori
kontrak sosial yang disampaikan oleh J.J. Rousseau). Seperti yang dikatakan
oleh Kuntjoro Probopranoto dalam bukunya Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila
bahwa tanpa bebas pendapat yang dapat dinyatakan secara teratur yaitu secara
soal jawab yang dapat dinyatakan dalam suatu rapat bersama atau sidang, maka
tidak dapat tersusun pula “kehendak rakyat”, tidak dapat ternyatalah “volonte
generale” atau “kehendak umum” dari rakyat yang harus merupakan dasar sistem
pemerintahan negara demokrasi. Negara seharusnya juga harus menghormati serta
melindungi hak atas kebebasan menyatakan pendapat ini tanpa mengurangi
sedikitpun sebagaimana yang telah disebutkan dalam teori di atas.
Syarat adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat, merupakan persyaratan mutlak yang lain dan harus dimiliki oleh
suatu negara demokrasi (termasuk Indonesia), maka kebebasan ini harus pula
dijamin di dalam undang-undang negara yang bersangkutan. Termasuk juga dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan
Pendapat di Muka Umum. Undang-undang yang mengatur mengenai kebebasan
menyatakan pendapat dan berserikat itu harus dengan tegas menyatakan adanya
kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tertulis. Terhadap
kebebasan menyatakan pendapat, negara berperan memberikan kemudahan terhadap
warga negara dalam pemenuhan hak tersebut. Serta setiap orang berhak
mengemukakan pendapat secara tertulis juga, dengan mengumpulkan bahan-bahan
yang dibutuhkannya, sehingga harus dijamin pula haknya untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan pendapat tersebut.
Dibalik itu perlu pula terdapat ketentuan undang-undang yang melarang siapapun,
termasuk pemerintah yang ingin mengurangi, membatasi atau meniadakan kebebasan
tersebut.[28] Akan tetapi ketentuan yang seharusnya ada tersebut tidak dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan
Pendapat di Muka Umum.
Kebebasan menyatakan pendapat dalam hal demokrasi
merupakan unsur terpenting dan esensi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam sebuah negara demokrasi serta meningkatkan transparasi dan kontrol
sosial. Hak ini menjadi penting karena membuka pintu terhadap terjadinya
pertukaran pemikiran, diskusi yang sehat, dan perdebatan yang berkualitas.
Dimana dengan adanya diskusi atau perdebatan tersebut akan memunculkan pihak
koalisi dan pihak oposisi, namun jangan mengasumsikan oposisi secara harfiah
yang berarti melawan atau menentang. Sebab dalam kehidupan bernegara
(ketatanegaraan) argumen tersebut menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang
mana hal tersebut sangat lumrah terjadi. Keadaan berkuasa, tidak mungkin selalu
dalam keadaan benar, kesalahan-kesalahan bisa terjadi dan sangat manusiawi,
sehingga perlu adanya koreksi-koreksi. Jadi kesalahan tersebut dapat diperbaiki
dan kepentingan rakyat (masyarakat) tidak menjadi korban.
Dengan adanya jaminan yang kuat terhadap kemerdekaan
berpendapat memastikan munculnya gagasan dan terobosan yang dibutuhkan dalam
memajukan kesejahteraan rakyat. Namun pengutamaan kebebasan individu dalam
konteks HAM bukanlah pengutamaan yang bersifat egoistik, yaitu seolah-olah
kondisi mutlak keindividuan itu tertutup sempurna dari kewajiban-kewajiban
sosial. Terlebih lagi paham individualisme dalam konteks HAM bukanlah paham
abstrak yang diperjuangkan demi individualisme itu sendiri. Justru paham
individualisme itu diutamakan dalam rangka pembebanan sosial terhadap kebebasan
memilihnya. Artinya, pada setiap pilihan individu yang bebas terletak juga
kewajiban distribusi hak secara sosial. Jalan pikirannya adalah bahwa pemilikan
hak selalu berarti adanya situasi sosial yang menghendaki hak itu dihormati
oleh orang lain dan karena itu, relasi sosial itulah yang mendifinisikan hak
itu.
Pelaksanaan HAM itu tidaklah absolut dan independen,
melainkan terjadi dengan prasyarat-prasyarat sosial, yaitu bahwa kebebasan
individu selalu berarti penghormatan terhadap kebebasan individu lain. Maka
dari itu, memang diperlukan sebuah batasan yang jelas mengenai
prasyarat-prasyarat tesebut agar kebebasan yang dimiliki oleh individu tidak
melanggar kebebasan individu lain. Hak dan kebebasan individu ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Bahkan menurut Toby
Mendell, walaupun kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak, melainkan
dapat dibatasi dengan alasan untuk menjamin hak dari orang lain, untuk menjamin
keamanan nasional,dan untuk menjamin ketertiban umum. Agar pembatasan tersebut
memiliki legitimasi, maka : (a) Pembatasan itu diatur dalam undang-undang; (b)
Pembatasan itu harus memiliki tujuan yang legitimate.
Masih terkait dengan pembatasan tersebut, Mendell
menjelaskan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat harus dirancang secara
hati-hati untuk memfokuskan diri pada perlindungan tercapainya tujuan
legitimate, pembatasan tidak terlalu luas, dan pembatasan harus seimbang atau
proporsional. Melihat pada esensinya hak kebebasan berpendapat serta ekses yang
muncul oleh karena hak tersebut, memang diperlukan suatu tata aturan atau etika
dalam menyatakan pendapat tersebut. Etika berpendapat ini dapat secara
universal dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan seperti untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini, yakni mengenai kebebasan berpendapat yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di
Muka Umum. Terdapat ketidak proporsionalitasan antar pasal-pasal dengan sasaran
dan kondisi masyarakat yang secara langsung mengikatkan diri terhadap peraturan
tersebut. Juga dapat dilihat dari ketentuan yang hanya cenderung bersifat
melarang atau membebani kewajiban tanpa disertai hak yang jelas yang dapat
diperoleh oleh warga negara yang sedang melakukan pemenuhan hak sipol.
Kebebasan menyatakan pendapat sebagai hak asasi
manusia dan dikaitkan dengan kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, maka
dapat dilihat dalam berbagai segi. Pertama, eksistensi HAM dipahami dalam
terminologi hubungan atau relationship. Hak menegaskan hubungan yang tepat
antara individu dengan komunalnya atau sekelompok orang dengan masyarakatnya.
Sehingga hak di sini harus dilihat dalam hubungannya dengan masyarakat secara
keseluruhan dan saat yang sama masyarakat berhubungan dengan hak individu.
Kedua, pengakuan terhadap HAM berarti menerima adanya kewajiban atau tanggung
jawab manusia (human duties). Orang tidak bisa berbicara HAM tanpa implikasi
langsung dari kewajiban masyarakat untuk menghormatinya. Ketiga, HAM dipahami
sebagai suatu kesatuan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Pemahaman ini pada
akhirnya menunjukkan ada satu hak, yakni hak sebagai manusia, sehingga perlu
dihormati dan dilindungi.
Dari ketiga pemahaman tentang HAM tersebut, maka
sebagai bagian dari HAM, hak kebebasan menyatakan pendapat yang dimiliki oleh
seseorang juga berkaitan dan saling mempengaruhi dengan masyarakat, sehingga
akan menimbulkan suatu kewajiban atau tanggungjawab sebagai individu kepada
individu lain atau masyarakat. Namun perlu juga diingat bahwa HAM sebagai satu
kesatuan memerlukan suatu pengakuan dan perlindungan yang diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan, termasuk juga dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, sehingga
perlindungan akan HAM (kebebasan berpendapat) di cyberspace ini mendapatkan
jaminannya.
________________________________________________________________________________________________________
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Pengaturan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum belum memenuhi jaminan hak asasi manusia, hal ini disebabkan:
Ditinjau dari prespektif HAM, dimana HAM memiliki
hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Hal
ini mengingat model pemenuhannya yang berbeda. Hak positif (positive rights)
negara di implementasikan melalui hak-hak ekonomi sosial dan politik (ekosob),
sedangkan negara melalui aparaturnya berperan besar dalam pemenuhan hak-hak
tersebut. Sedangkan hak negative (negative rights) di implementasikan dalam
hak-hak sipil dan politik. Dalam negative rights, negara dalam pemenuhannya
haruslah bertindak pasif .Hal ini berbeda denagan hak-hak ekosob dimana negara
harus bertindak pasif.
Kebebasan mengemukakan pendapat merupakan bagian dari
hak sipil dan politik. Sebagai hak sipol maka pemenuhan serta perlindungannya
yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi oleh siapapun bahkan oleh negara
sekalipun. Terhadap hak sipol, negara tidak dibenarkan terlalu ikut campur,
karena ketika negara terlalu ikut campur maka akan berpotensi terlanggarnya
hak-hak tersebut. Termasuk didalamnya hak memata-matai setiap warga negara yang
melakukan dan menyelenggarakan diskusi dan seminar, mencurigai orang untuk
berkumpul, melakukan penyiksaan menangkap dan menahan orang yang bersalah
dengan tidak memenuhi peraturan hukum acara pidana, merendahkan martabat
tersangka, menghalang-halangi warga negara untuk mengkritisi kebijakan
pemerintah, menghalang-halangi warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka
umum dan lainnya. Agar terjaminnya hak-hak sipol aparatur negara harus bersifat
pasif, yaitu hanya sebagai pengiring untuk memudahkan dan memastikan agar
hak-hak ini terjamin dan terselenggara dengan baik.
Melihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, masih terdapat
berbagai kekurangan berkaitan dengan pembatasan-pembatasan yang ada, sebab
tidak dicantumkan secara jelas mengenai batasan yang tidak boleh dilanggar oleh
seseorang dalam menyatakan pendapatnya di muka umum, agar tercipta suatu
relevansi diantara peraturan perundang-undangan serta tidak saling
bertentangan, dan tidak mempersulit masyarakat dalam pemenuhan hak-hak tersebut
terutama dalam hal perijinan pelaksanaan kebebasan berpendapat di muka umum.
B. Saran
Berkaitan denagn permasalahn di atas, saran yang dapat
diberikan oleh penulis kepada pemerintah dan para Anggota Dewan dalam hal ini
yang berwenang membuat ketentuan perundang-undangan dalam melakukan
aktivitasnya guna menyampaikan pendapat dan berinteraksi denagn orang lain
adalah sebagai berikut:
- Perlunya merevisi ketentuan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
Pemerintah hendaknya mampu memilah antara kewenangan
berperan aktif dan pasif dalam mengatur regulasi kebijakan. Menggunakan peran
serta wewenang tanpa mengurangi rasa keadilan dan hak asasi manusia. Jika
peraturan menyangkut hak ekosob disinilah peran pemerintah secara aktif baik dalam
regulasi maupun implementasi di lapangan. Namun jika hal tersebut menyangkut
hak sipol, maka pemerintah harus berperan secara pasif. Termasuk didalamnya
kebebasan mngemukakan pendapat di muka umum, hendaknya pemerintah mempermudah
masyarakat dalam pemenuhan hak tersebut terutama dalam hal perijinan, sebab
sejatinya hak sipol pemerintah adalah sebagai pengiring dan mempermudah
masyarakat agar hak sipol dapat terpenuhi dengan baik.
________________________________________________________________________________________________________
DAFTAR BACAAN
Buku
Ahmad Suhelmi. 2001. Pemikiran Politik Barat Kajian
Sejarah PerkembanganPemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Tama.
Anton. M. Moeliono. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD.
Jakarta: GhaliaPustaka.
Arbi Sanit. 1995. Ormas dan Politik. Jakarta: Lembaga
Studi Informasi Pembangunan (LSIP).
A.T Sugeng Priyanto et al. 2008. Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Pembukuan Departemen Nasional.
Bambang Sunggono. 2001. Metode Penelitian Hukum (Suatu
Pengantar). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bondan Gunawan. 2000. Apa itu Demokrasi. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Budi Suryadi. 2007. Sosiologi Politik Sejarah,
Definisi dan Perkembangan Konsep. Yogyakarta: Ircisod.
C. F. Strong. 2004. Konstitusi-konstitusi Politik
Modern Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia. Bandung:
Nuansa dan Nusamedia.
Darwin Prinst. 2001. Sosialisasi dan Dimensi Penegakan
Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra aditya Bhakti.
E.C.S. Wade and G. Godfrey Philips. 1965.
Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution.
Including Central and Local
Government, the Citiven and State and Administrative Law. London:
Longmans.
Franz Magnis Suseno. 2003. Etika Politik,
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama.
Harold J. Laski. 1947. The State in Theory and
Practice. New York: The Viking Press.
Hendra Nurtjahjo. 2005. Ilmu Negara Pengembangan Teori
Bernegara dan Suplemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Henry B. Mayo. 1960. An Introduction to Democratic
Theory. New York: Oxford University Press.
Heru Nugroho. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai
Pilihan. Jakarta: ELSAM.
Inu Kencana Syafiie. 1997. Ilmu Politik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Jimly Asshidiqqie. 2010. Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
J.W.Gough. 1957. Sosial Contract: Critical Study of
Its Development. England: Oxford Clarendon Press.
Krisna Harahap. 2003. HAM dan Upaya Penegakannya di
Indonesia. Bandung: Grafiti.
Kuntjoro Probopranoto. 1979. Hak-Hak Asasi Manusia dan
Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita.
Miriam Budiardjo. 1996. Demokrasi di Indonesia.
Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Tama.
_______________ 1998.
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama.
Moh. Mahfud MD. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Muhammad Tahir Azhary. 2004. Negara Hukum Suatu Studi
tentang Prinsipprinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Medinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana.
Mukhtie Fadjar. 2005. Tipe Negara Hukum. Malang:
Bayumedia.
Oemar Seno Adji. 1966. Prasaran, Seminar
Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: P.T. Seruling Masa.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana.
Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
Rajawali Press.
Rozali Abdullah dan Syamsir. 2002. Perkembangan Hak
Asasi Manusia dan Keberadaan Peradilan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Satya Gunawan. 1991. Hukum dan Demokrasi. Jakarta:
Ind-Hill-Co.
Shad Saleem Furuqi. 1998. Apakah Hak-hak Asasi Manusia
itu? BeberapaPenjelasan tentang Berbagai Konsep dan Sudut Pandang. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sejono Soekanto. 2006. Pengantar penelitian Hukum.
Jakarta: Universitas Press.
Toby Mendell dalam Kuntjoro Probopranoto. 1979.
Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita.
Todung Mulya Lubis. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam
Masyarakat Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soltau, Reger H. 1961. An Introduction to
Politics. London: Longmans Green and Co.
Sout-east asian and Pacific Cofference of Jurists.
1965. The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age. Bangkok:
International Connission of Jurists.
Sudargo Gautama. 1983. Pengertian tentang Negara Hukum
Bandung: Alumni.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
Konvenan Hak Sipil dan politik 1966.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
______________ Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
______________ Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil
dan Politik.
______________ Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Makalah
Djaka Wahyu Winaryo. 2007. “Peran Pemerintah Daerah
Dalam PenegakanHakAsasi Manusia”. Makalah. Disampaikan pada DiskusiBagian Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum UNS dan Bagian Hukum dan HAM.
G.J. Wolhoff dalam Zen Zanibar MZ. 2003. “Otonomi Desa
dengan AcuanKhusus pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan”. Disertasi Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jimly Asshidiqie. “Negara Hukum Indonesia”. Makalah.
Disampaikan padaCeramah Umum dalam Rangka Pelantikan Dewan Pimpinan PusatIkatan
Alumni Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010.
Kanwil Depkumham Jawa Tengah. “Bunga Rampai Hak Asasi
Manusia”, Makalah, Disampaikan pada Acara Sosialisasi Hak Asasi Manusia pada
tanggal 16 November 2007 di Surakarta.
Majalah atau Jurnal
Albert Hasibuan, 2008, “Politik Hak Asasi Manusia dan
UUD 1945”. Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol.VIII.
No.1.
B. Arief Sidharta. 2004. “Kajian Kefilsafatan tentang
Negara Hukum dalam Jentera Jurnal Hukum Rule of Law”. Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK). Jakarta. Tahun II, Edisi
No.3.
Internet
(http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=145235),
pada tanggal 5 Mei 2011. Pukul 12.00 wib.
(http://id.wikipedia.org/wiki/negara), pada
tanggal 3 Juni 2011, Pukul 10.25 wib.
(http://www.lbh-makassar.org/?p=26), pada tanggal
2 Agustus 2011, Pukul 20.00 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar