Selasa, 05 Agustus 2014

Imam Syafi’i Melarutkan Diri dalam Lautan Ilmu




 “Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr).”Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke jalan menuju surga”. (HR. Turmudzi).

Ungkapan kalimat, carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat, menunjukkan begitu bermaknanya kehidupan seorang yang menuntut ilmu agama.
Begitu pun Imam Safi’i yang memaknai hadist dan ungkapan tersebut, sehingga menjadikan suatu kewajiban baginya untuk mencari dan memperdalam serta mengamalkan ilmu. Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang menekankan ilmu bidang ushul fiqh. Ilmu ushul fiqih adalah sebuah kajian luar biasa yang mampu meringkas begitu banyak teks yang memiliki konsekuensi hukum yang sama menjadi sebuah formula yang sederhana.
Ilmu ini digunakan para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum. Menyederhanakan masalah yang pelik menjadi mudah butuh kecerdasan dan pemahaman yang mendalam. Oleh karena itulah, seseorang yang menciptakan ilmu ushul fiqh ini pasti memiliki kecerdasan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam tentang ilmu-ilmu syariat. Ilmu inilah yang  pertama kali dirumuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafii atau lebih dikenal dengan Imam Syafii.
Ketokohan dan kepakaran Imam Syafi'i tersohor seantero dunia. Karya-karyanya diakui dan menjadi rujukan utama.  Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di Kota Gaza, Palestina. Tahun kelahirannya bertepatan dengan wafatnya salah seorang ulama besar Islam, Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ayahnya wafat saat Syafii masih kecil sehingga ibunya memutuskan untuk hijrah ke Mekah agar Syafii mendapatkan santunan dari keluarganya dan nasabnya pun terjaga.

Sebuah Tekun
Di Mekah, Syafii kecil mulai mempelajari bahasa Arab, ilmu-ilmu syariat, dan sejarah. Ia terkenal sebagai seoarang anak yang cerdas,  di usia sekitar enam tahun 30 juz Alquran sudah sempurna terhap olehnya dan bersemayam di dalam dadanya.  Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang baginya dalam menuntut ilmu, Syafii mencatat palajarannya di atas tulang-tulang hewan atau kulit-kulit yang berserakan. Namun ia dimudahkan dengan karunia Allah berupa daya hafal yang sangat kuat sehingga beban ekonomi untuk membeli buku dan kertas bisa terganti. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu di Mekah,
Madinah menjadi tempat berikutnya dalam menimba ilmu. Di sana adaseorang ulama yang dalam ilmunya, yakni Imam Malik rahimahullah. Sebenarnya kepergiannya ke Madinah tak lepas darti dorongan Gubernur Makkah. Makanya saat menginjak usia 13 tahun ia pun ke Madinah dan belajar di bawah bimbingan Imam Malik.
Selama belajar kepada Imam Malik, sang imam negeri Madinah sangat terkesan dengan kemampuan yang dimiliki remaja dari Bani Hasyim ini. Kemampuan analisis dan kecerdasannya benar-benar membuat Imam Malik kagum sehingga Imam Malik menjadikannya sebagai asistennya dalam mengajar. Padahal kita ketahui, Imam Malik adalah seorang yang sangat selektif dan benar-benar tidak sembarangan dalam permasalahan ilmu agama, tapi kemampuan Syafii muda memang pantas mendapatkan tempat istimewa.
Kemauan yang demikain besar dalam menuntut ilmu, sehingga membuatnya larut dalam lautan ilmu para ulama. Selain belajar kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada Imam Muhammad asy-Syaibani, salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah. Di antara guru-guru Imam Syfaii di Madinah adalah Ibrahim bin Saad al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawaridi, Ibrahim bin Abi Yahya, Muhammad bin Said bin Abi Fudaik, dan Abdullah bin Nafi ash-Sha-igh.
Ia juga pergi ke Yaman dan belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf yang merupakan hakim di Kota Shan’a, Amr bin Abi Salama, salah seorang sahabat Imam al-Auza’i, dan Yahya bin Hasan. Sedangkan di Irak beliau belajar kepada Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah al-Kufiyani, Ismail bin Aliyah, dan Abdullah bin Abdul Majid al-Bashriyani.

Anak Miskin
Dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu syariat ditambah kecerdasan yang luar biasa, Imam Syafii mulai dipandang sebagai salah seorang ulama besar. Terlebih ketika gurunya yang mulia, Imam Malik wafat pada tahun 795, Imam Syafii yang baru menginjak usia 20 tahun dianggap sebagai salah seorang yan paling berilmu di muka bumi kala itu.
  Kehebatan sang tokoh tak terlepas dari peran ibunda, Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. Nasab ke suku Al-Azd di Yaman, seperti dikuatkan oleh Al-Baihaqi. Dikisahkan pula, Fatimah adalah Ahlul Bait. Keturunan Rasulullah SAW dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah madrasah pertama bagi Syafi'i. Sejak berumur dua tahun, Fatimah terpaksa harus membesarkan buah hatinya itu sendirian. Ini lantaran sang suami, Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'i, meninggal di Gaza.
Fatimah dikenal cerdas. Ia adalah sosok yang tegar dan tidak pernah mengeluh. Ketika suaminya wafat, tak sedikit pun harta ia warisi. Dengan kondisi serbakekurangan, ia berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak semata wayangnya itu. Keinginannya satu, kelak buah hatinya tersebut menjadi figur hebat dan bermanfaat bagi semua.
            Di Makkah, Fatimah tinggal bersama Syafi'i kecil di Kampung Al-Khaif. Nasab boleh tinggi dan terhormat, tetapi taraf ekonomi mereka di level bawah. Syafi'i menuturkan sendiri tentang kondisi ibunya yang miskin. “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim di bawah asuhan ibuku, dan tidak ada harta pada beliau yang bisa diberikan kepada guruku. Ketika itu guruku merasa lega apabila aku menggantikannya saat dia pergi,” kenangnya.(*)

[] BANGUN LUBIS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar