“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap
muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr).”Barang siapa
yang menempuh jalan untuk mencari suatu ilmu. Niscaya Allah memudahkannya ke
jalan menuju surga”. (HR. Turmudzi).
Ungkapan kalimat, carilah ilmu
sejak dari buaian hingga ke liang lahat, menunjukkan begitu bermaknanya
kehidupan seorang yang menuntut ilmu agama.
Begitu pun Imam
Safi’i yang memaknai hadist dan ungkapan tersebut, sehingga menjadikan suatu
kewajiban baginya untuk mencari dan memperdalam serta mengamalkan ilmu. Imam
Syafi’i adalah seorang ulama yang menekankan ilmu bidang ushul fiqh. Ilmu ushul
fiqih adalah sebuah kajian luar biasa yang mampu meringkas begitu banyak teks
yang memiliki konsekuensi hukum yang sama menjadi sebuah formula yang
sederhana.
Ilmu ini
digunakan para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum. Menyederhanakan masalah
yang pelik menjadi mudah butuh kecerdasan dan pemahaman yang mendalam. Oleh
karena itulah, seseorang yang menciptakan ilmu ushul fiqh ini pasti memiliki
kecerdasan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam tentang ilmu-ilmu
syariat. Ilmu inilah yang pertama kali
dirumuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafii atau lebih dikenal dengan Imam
Syafii.
Ketokohan
dan kepakaran Imam Syafi'i tersohor seantero dunia. Karya-karyanya diakui dan
menjadi rujukan utama. Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun
150 H/767 M di Kota Gaza, Palestina. Tahun kelahirannya bertepatan dengan
wafatnya salah seorang ulama besar Islam, Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Ayahnya wafat saat Syafii masih kecil sehingga ibunya memutuskan untuk hijrah
ke Mekah agar Syafii mendapatkan santunan dari keluarganya dan nasabnya pun
terjaga.
Sebuah Tekun
Di Mekah,
Syafii kecil mulai mempelajari bahasa Arab, ilmu-ilmu syariat, dan sejarah. Ia
terkenal sebagai seoarang anak yang cerdas, di usia sekitar enam tahun 30
juz Alquran sudah sempurna terhap olehnya dan bersemayam di dalam dadanya. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang
baginya dalam menuntut ilmu, Syafii mencatat palajarannya di atas tulang-tulang
hewan atau kulit-kulit yang berserakan. Namun ia dimudahkan dengan karunia
Allah berupa daya hafal yang sangat kuat sehingga beban ekonomi untuk membeli
buku dan kertas bisa terganti. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu di
Mekah,
Madinah
menjadi tempat berikutnya dalam menimba ilmu. Di sana adaseorang ulama yang
dalam ilmunya, yakni Imam Malik rahimahullah. Sebenarnya kepergiannya ke Madinah tak lepas darti dorongan Gubernur
Makkah. Makanya saat menginjak usia 13 tahun ia pun ke Madinah dan
belajar di bawah bimbingan Imam Malik.
Selama
belajar kepada Imam Malik, sang imam negeri Madinah sangat terkesan dengan
kemampuan yang dimiliki remaja dari Bani Hasyim ini. Kemampuan analisis dan
kecerdasannya benar-benar membuat Imam Malik kagum sehingga Imam Malik
menjadikannya sebagai asistennya dalam mengajar. Padahal kita ketahui, Imam
Malik adalah seorang yang sangat selektif dan benar-benar tidak sembarangan
dalam permasalahan ilmu agama, tapi kemampuan Syafii muda memang pantas
mendapatkan tempat istimewa.
Kemauan yang
demikain besar dalam menuntut ilmu, sehingga membuatnya larut dalam lautan ilmu
para ulama. Selain belajar kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada Imam
Muhammad asy-Syaibani, salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah. Di antara
guru-guru Imam Syfaii di Madinah adalah Ibrahim bin Saad al-Anshari, Abdul Aziz
bin Muhammad ad-Darawaridi, Ibrahim bin Abi Yahya, Muhammad bin Said bin Abi
Fudaik, dan Abdullah bin Nafi ash-Sha-igh.
Ia juga
pergi ke Yaman dan belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf yang
merupakan hakim di Kota Shan’a, Amr bin Abi Salama, salah seorang sahabat Imam
al-Auza’i, dan Yahya bin Hasan. Sedangkan di Irak beliau belajar kepada Waki’
bin Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah al-Kufiyani, Ismail bin Aliyah, dan
Abdullah bin Abdul Majid al-Bashriyani.
Anak Miskin
Dengan
kesungguhannya dalam mempelajari ilmu syariat ditambah kecerdasan yang luar
biasa, Imam Syafii mulai dipandang sebagai salah seorang ulama besar. Terlebih
ketika gurunya yang mulia, Imam Malik wafat pada tahun 795, Imam Syafii yang
baru menginjak usia 20 tahun dianggap sebagai salah seorang yan paling berilmu
di muka bumi kala itu.
Kehebatan sang tokoh tak terlepas dari peran
ibunda, Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah. Nasab ke suku Al-Azd di Yaman, seperti
dikuatkan oleh Al-Baihaqi. Dikisahkan pula, Fatimah adalah Ahlul Bait.
Keturunan Rasulullah SAW dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin
Abi Thalib. Ia adalah madrasah pertama bagi Syafi'i. Sejak berumur dua tahun,
Fatimah terpaksa harus membesarkan buah hatinya itu sendirian. Ini lantaran
sang suami, Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'i, meninggal di Gaza.
Fatimah dikenal
cerdas. Ia adalah sosok yang tegar dan tidak pernah mengeluh. Ketika suaminya
wafat, tak sedikit pun harta ia warisi. Dengan kondisi serbakekurangan, ia
berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak semata wayangnya itu.
Keinginannya satu, kelak buah hatinya tersebut menjadi figur hebat dan
bermanfaat bagi semua.
Di Makkah, Fatimah tinggal bersama Syafi'i kecil di Kampung Al-Khaif. Nasab boleh tinggi dan terhormat, tetapi taraf ekonomi mereka di level bawah. Syafi'i menuturkan sendiri tentang kondisi ibunya yang miskin. “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim di bawah asuhan ibuku, dan tidak ada harta pada beliau yang bisa diberikan kepada guruku. Ketika itu guruku merasa lega apabila aku menggantikannya saat dia pergi,” kenangnya.(*)
Di Makkah, Fatimah tinggal bersama Syafi'i kecil di Kampung Al-Khaif. Nasab boleh tinggi dan terhormat, tetapi taraf ekonomi mereka di level bawah. Syafi'i menuturkan sendiri tentang kondisi ibunya yang miskin. “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim di bawah asuhan ibuku, dan tidak ada harta pada beliau yang bisa diberikan kepada guruku. Ketika itu guruku merasa lega apabila aku menggantikannya saat dia pergi,” kenangnya.(*)
[] BANGUN LUBIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar