Kamis, 12 Juli 2012

suku




Pengaruh Suku Tionghoa
Di Palembang


“Palembang dikenal dengan pusat perniagaan.
 Hingga kini pun sebutan dan kenyataan itu tidak pernah lekang dari warga kota ini.
Ternyata itu sudah terjadi sejak berabad-abad lalu,
yang dipengaruhi oleh para pedagang cina.


bangun lubis

Semenjak dulu kala, Kota Palembang telah dikenal sebagai pusat perniagaan. Laut dan sungai merupakan lalulintas perdagangan yang digunakan para saudagar sebagai jalur angkutan barang-barang niaga kebutuhan masyarakat di sini.
                Semua orang sudah megetahui bahwa kebiasaan perdagangan dengan menggunakan lalulintas laut dan sungai telah mewarisi para saudagar kawasan ini yang berlangsung sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Kota Palembang
                Menurut prasasti tanggal 16 Juni 671 penguasa Kerajaan Sriwijaya mendirikan Wanua yang kemudian dikenal sebagai Kota Palembang.Kota Palembang dikenal juga sebagai kota sunai  dan hamper 52 persen wilayahnya pada masa itu dilalui sungai-sungai sehingga alat transportasi di kota tua ini juga menggunakan perahu-perahu.

Cina Palembang
Bahkan dalam literature cina , chun – fan – chi yang ditulis oleh  Chao Jua-Kua, pada abad ke 14 diceritakan bahwa Sriwijaya merupakan negara yang terletak di laut selatan menguasai lintas perdagangan asing di selat-selat.
                Tidak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Budayawa Palembang Djohan Hanafiah  dalam sebuah bukunya  - Perang Palemban Melwan VOC (1996) – bahwa Sriwjaya merupakan kerajaan yang lebih meguasai wilayah perairan di Asia Tenggara. Pusat distribusi ekonomi dan kehidupan masyarakatnya berada di sepanjang perairan negeri tersebut.
                Lalu, berdasarkan catatan almarhum Djohan Hanafiah, Raja Palembang yang bernama Ma-na-ha, Pau –In –Pang (Maharaja Palembang) mengirim dutanya menghadap Kaisar Cina pada tahun 1374. Maharaja ini disebut sebagai Raja Palembang terakhir pada saat penguasaan Sriwijaya, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada 1377.
                Sehingga, Palembang tidaklah merupkan suatu yang asing bagi para penguasa cina pada dahulu kala, karena memang mereka juga telah memiliki hubungan baik dengan raja-raja di wilayah kekuaaan Sriwijaya.
                Dalam beberapa literature yang pernah diungkapkan Djohan pada bukunya, sebutan Palembang muncul pada abad 13 setelah berakhirnya masa kejayaan Sriwijaya abad 7-abad 12.  Palembang semula berasal dari ejaan para saudagar cina yang menyebutkan Fa Lin Fong , seperti dituliskan dalam tulisan cina  Chu Fa Shi karya Chau Ju Kau tahun 1225.
                Makin jelas pula bahwa hubungan orang – orang Palembang dengan cina merupakan sebuah hubungan yang demikian erat setelah penulis Cina lainnya, Ma Huan, dalam catatan perjalannya Ying Ysi Shueng Lan (1416) menuliskan berbagai catatan menganai Palembang yang diejanya dalam tulisan menyebut Pa Lin Pang. Bahkan disebut Palembang selama 200 tahun sebagai enclave Cina. Kendati nama Palembang tidak bisa dilepas dari keharuman nama Sriwijaya abad 12.
                Memang pada tahun 1400 masehi, pengaruh  kekuasaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai berangsur surut, tetapi hubungan para pedagang cina dengan pihak kerajaan dan para pedagang di Palembang pada masa itu tetap berlangsung. Bahkan tidak hanya saja hubungan perniagaan lagi, bahkan lama menjadi hubungan persaudaraan.
                Seorang Pengelola Pulau Kemaro di tengah Sungai Musi Palembang yang kini menjadi tempat etnis Tionghoa merayakan Cap Go Me setelah Sin Cia, bernama Candra mengatakan,  bahwa Pulau yang memiliki luas 3,5 hektare itu menjadi kunjunan dari warga keturunan Tionghoa dari berbagai Negara untuk melakkan perayaan Cap Go Me.
                Lalu hubungan yang paling kental dengan masyarakat Palembang menurut Canra, ada yang bernama Situ Fatimah telah menikah dengan seorang saudagar Cina bernama Tan Po Han yang datng ke sini pada masa Dinasti Ming. Tan Po Ha lalu menikah dengan Si Fatimah, tetapi kapal yang mereka tompangi karam di lokasi ini sehingga sekarang itulah yang menjadi daatan yang disebut sebagai Pulau Kemaro. Siti Fatimah menurut para keturunan sebagai nenek buyut mereka yang beragama Islam.
Berbagai bukti sejarah inilah yang menandakan betapa cina demikian berperan dalam hubunga perniagaan dengan Palembang pada masanya. Hingga sekarang pun kedua etnis ini duduk berdampingan dengan tanpa merasa bahwa ada perlainan yang mendalam dalam kebudayaan yang mereka anut. Namun antara kebudayaan Palembang yang lebih Melayu dipengaruhi Islam, dengan kebudayaan cina berjalan bersama tanpa memiliki  ada pergesekan yang berarti. Begitupun percampuran itu sekarang tidak memiliki urgensi yang renggang atau berseberangan.(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar